
Gunungkidul, (Matahatinews.com)–Polemik pembebasan tanah untuk jalan jalur Tawang-Ngalang yang melewati wilayah Kalurahan Ngoro-Oro kembali mencuat. Tanah yang dibebaskan merupakan Tanah Kas kalurahan/desa. Dugaan tindak pidana korupsi mark up pengadaan tanah tersebut ditindaklanjuti Sat Reskrim Unit Pitsus Polres Gunungkidul.
Pemerintah Propinsi DIY telah memberikan uang pengganti pembebasan tanah kas desa sebesar Rp 2.219 miliar dan menjadi Rp 2. 273 miliar karena ada tambahan bunga bank.
Uang pengganti yang telah diterima kalurahan digunakan untuk membeli tanah lagi sebagai pengganti tanah kas desa yang terkena proyek pembangunan jalan.



Berjalannya waktu, ternyata tanah yang dibeli oleh tim pengadaan tanah, hanya tanah milik perangkat kalurahan, termasuk keluarga (istri) Lurah Ngoro-Oro.
Tanah yang dibeli dihargai jauh lebih tinggi dari harga jual semestinya, sehingga timbul polemik di masyarakat.
Yang lebih menyakitkan lagi, lima bidang tanah yang dibeli semua punya tim pengadaan tanah dan perangkat desa, serta keluarga perangkat.
Berkaitan mark Up pengadaan atau pembelian tanah pengganti tanah Kalurahan Ngoro-oro Kapanewon Patuk yang berkenaan pembangunan jalan lintas Utara Kabupaten Gunungkidul tersebut akhirnya Sat Reskrim Unit Pidsus Polres Gunungkidul turun kelapangan.
Hal ini dibenarkan, Kasubag Humas Polres Gunungkidul AKP Suryanto, Senin, 21/02/2022.
Sat Reskrim Unit Pitsus yang dipimpin oleh Kanit Pitsus Ibnu Ali Puji H, SH. MH. mulai tanggal 13 Januari 2022 telah menerima surat perintah tugas (Springas).
“Surat perintah tugas tersebut untuk melakukan penyelidikan dengan meminta keterangan saksi saksi dan barang bukti,” ujar Suryanto.
.
“Kita tunggu saja nanti hasil penyelidikannya,” pungkasnya.
Seperti pemberitaan sebelumnya, pembelian tanah pengganti tanah Kas Desa/ Kalurahan Ngoro-oro, Kapanewon Patuk, Kabupaten Gunungkidul menuai polemik.
Warga mempertanyakan beberapa hal, diantaranya;
1. Tidak pernah adanya sosialisasi ke warga masyarakat.
2. Kenapa yang dibeli rata-rata tanah milik tim pengadaán tanah dan milik perangkat dan keluarga perangkat kalurahan.
3. Mempertanyakan masalah harga jual tanah yang dianggap terlalu tinggi.
4. BPKal tidak pernah diajak musyawarah terkait masalah pembelian tanah pengganti tanah kas kalurahan.
(W. Joko Narendro)